Sejarah Perlawanan Banda Sapuluah Terhadap VOC – Strategi Adat dan Islam

A Dutch VOC sailing ship with full sails approaches a tropical shoreline
Guru Seni & Keterampilan | Mitra Guru | masri.id

Memasuki abad ke-17, angin perubahan mulai terasa di pesisir Barat Sumatera. Kapal-kapal asing dari Portugis, Inggris, dan Belanda (VOC) mulai berdatangan, membawa serta niat dagang, politik, bahkan penjajahan. Banda Sapuluah—yang sejak lama dikenal sebagai pelabuhan penting dengan komoditas unggulan seperti lada, emas, dan hasil laut—menjadi incaran.

Namun, masyarakatnya tidak tinggal diam. Dengan kearifan adat, kekuatan Islam, dan jejaring perantauan, mereka mengembangkan strategi bertahan yang unik dan efektif.


🌊 Laut yang Ramai, Ancaman yang Nyata

Di tengah derasnya arus perdagangan internasional, Banda Sapuluah mulai merasakan tekanan dari luar. Bukan hanya soal ekonomi, tapi juga budaya dan kedaulatan. Kedatangan VOC membawa model intervensi yang berbeda jauh dari saudagar Muslim Gujarat atau pedagang-pedagang dari Timur Tengah yang datang sebelumnya.

VOC tidak datang sebagai mitra, tapi sebagai penguasa dagang yang ingin monopoli. Mereka menggunakan:

  • Perjanjian sepihak dengan tokoh lokal

  • Adu domba antar nagari

  • Tekanan militer dan kapal perang

Namun, di Banda Sapuluah, tak mudah bagi VOC untuk menemukan “raja” yang bisa mereka kuasai. Sistem konfederasi nagari—tanpa satu penguasa pusat—menjadi tantangan tersendiri bagi strategi kolonial mereka.

🗣️ "Tak bisa membeli nagari yang berdiri di atas mufakat," begitulah prinsip masyarakat Banda Sapuluah.


🛡️ Strategi Bertahan: Adat, Islam, dan Rantau

Masyarakat Banda Sapuluah tidak menghadapi tekanan ini dengan kekerasan semata. Mereka mengembangkan tiga kekuatan utama:

1. Adat dan Konfederasi Nagari

Dengan struktur sosial yang tidak terpusat, satu nagari bisa bertahan ketika lainnya mendapat tekanan. Sistem ini luwes, sulit dikuasai dari luar, dan kuat karena berbasis musyawarah.

2. Islam dan Peran Ulama

Ulama memainkan peran sentral dalam membangun kesadaran dan semangat perlawanan. Surau menjadi tempat pembentukan karakter, penyebaran ide-ide kemandirian, dan penyatuan semangat kolektif.

3. Jaringan Dagang dan Rantau

Warga Banda Sapuluah aktif berdagang hingga Aceh, Bengkulu, bahkan Malaka. Hubungan ini menjadi alternatif dari ketergantungan pada VOC, sekaligus memperkuat posisi diplomatik mereka.


🤝 Perlawanan Kultural dan Diplomasi Lokal

Tak semua perlawanan dilakukan dengan mengangkat senjata. Di Banda Sapuluah, masyarakat memilih jalur:

  • Perlawanan budaya – menjaga identitas lokal lewat adat dan bahasa

  • Netralitas diplomatik – tidak memberi monopoli dagang kepada pihak manapun

  • Penyebaran pengaruh melalui rantau – membangun kekuatan dari luar

Inilah yang membedakan Banda Sapuluah dengan wilayah lain seperti Padang atau Bengkulu yang akhirnya menjadi basis kekuatan VOC.


📘 Refleksi untuk Pelajar

Sejarah bukan hanya soal perang, tapi juga soal strategi bertahan hidup.
Adat dan Islam bukan penghambat modernisasi, tapi fondasi kedaulatan.
Ketika kekuasaan luar datang, kekuatan kolektif masyarakatlah yang menjadi benteng.
Jaringan ekonomi dan budaya bisa menjadi alat diplomasi yang kuat.


📚 Referensi

  • Dokumentasi sejarah lisan masyarakat Pesisir Selatan

  • Arsip lokal Banda Sapuluah dan Nagari Tarusan

  • Literatur kolonial tentang Sumatera Barat abad ke-17

  • Wawancara dengan budayawan dan ninik mamak lokal

#BandaSapuluah #VOC #SejarahSumateraBarat #AdatMinangkabau #IslamNusantara #PerlawananKultural #Surau #Nagari #PendidikanSejarah