Banda Sapuluah: Konfederasi Adat Maritim di Pesisir Barat Sumatera

Banda Sapuluah adalah konfederasi adat maritim di pesisir Sumatera Barat yang unik—berbasis musyawarah, tanpa raja, dan terhubung oleh laut. Pelajari warisan sejarahnya yang membentuk jati diri Minangkabau pesisir.
Guru Seni & Keterampilan | Mitra Guru | masri.id

Di sepanjang pesisir barat Sumatera, sebelum pengaruh kolonial Belanda mendominasi, telah berkembang sebuah sistem masyarakat unik dan kokoh—Banda Sapuluah. Nama ini merujuk pada sepuluh nagari yang membentuk konfederasi adat, mencerminkan kebebasan kolektif dan persatuan berbasis adat khas Minangkabau.

Apa Itu Konfederasi Adat?

Berbeda dengan kerajaan terpusat seperti Pagaruyung atau Sriwijaya, Banda Sapuluah menganut sistem konfederasi, yaitu kerjasama antara nagari-nagari yang berdiri sendiri secara politik namun bekerja sama dalam urusan penting seperti pertahanan, perdagangan, dan adat. Setiap nagari dipimpin oleh penghulu adat (ninik mamak) yang dipilih berdasarkan kebijaksanaan dan kemampuan bermusyawarah, bukan garis keturunan kerajaan.

Kehidupan sosial di Banda Sapuluah dikelola melalui prinsip-prinsip adat Minangkabau yang kaya nilai:

  • Musyawarah mufakat dalam balai adat

  • Gotong royong dalam membangun rumah, ladang, dan pelabuhan

  • Keadilan kolektif dalam menyelesaikan sengketa

Wilayah yang Terkoneksi Lewat Laut

Secara geografis, Banda Sapuluah terletak di wilayah pesisir yang menghadap langsung ke Samudra Hindia. Laut menjadi penghubung antar-nagari dan dunia luar, bukan sekadar sumber makanan. Sepuluh nagari yang tergabung dalam Banda Sapuluah—seperti Amping Parak, Pasar Baru, Kambang, Lakitan, Surantih, dan lainnya—masing-masing memiliki pelabuhan kecil atau titik labuh. Mereka aktif dalam perdagangan dengan daerah lain, baik ke utara (Barus, Aceh), ke selatan (Bengkulu, Lampung), maupun ke barat melalui pelayaran ke pulau-pulau Mentawai dan bahkan kawasan luar negeri.

Kegiatan maritim ini membentuk karakter ekonomi dan memperkaya budaya masyarakat Banda Sapuluah: dari logat bicara, sistem pengukuran hasil bumi, hingga tradisi pelayaran turun-temurun.

Kepemimpinan Kolektif: Bukan Raja, Tapi Mufakat

Salah satu nilai yang membedakan Banda Sapuluah adalah tidak adanya raja tunggal. Kepemimpinan dipegang oleh dewan ninik mamak, yang dikenal sebagai pemangku adat. Mereka bukan hanya pengambil keputusan, tetapi juga penjaga moral dan adat, serta penghubung antara generasi muda dan leluhur.

Dalam balai-balai adat, para ninik mamak mengadakan musyawarah untuk memutuskan:

  • Penentuan batas wilayah nagari

  • Perjanjian dagang dengan pihak luar

  • Penyelesaian konflik antarsuku

  • Perkawinan antar-nagari untuk memperkuat persaudaraan

Sistem ini membuat masyarakat Banda Sapuluah tahan terhadap intervensi luar karena setiap keputusan harus melalui kesepakatan bersama, bukan atas perintah satu penguasa saja.

Keterbukaan Tanpa Kehilangan Identitas

Meskipun memiliki hubungan luas dengan dunia luar, masyarakat Banda Sapuluah tidak kehilangan jati dirinya. Mereka menyerap hal-hal positif dari luar (seperti teknik pelayaran, sistem timbang-menimbang, atau ilmu pengobatan), namun tetap memegang teguh prinsip adat dan nilai lokal.

Misalnya, mereka menggunakan sistem ukuran rempah yang diperkenalkan dari luar, tetapi tetap mempertahankan aturan adat dalam transaksi, seperti kejujuran, pantangan mengambil keuntungan berlebih, dan etika berdagang yang sopan.

📌 Catatan untuk Pelajar

Konfederasi Banda Sapuluah mengajarkan kita bahwa:

  • Persatuan bisa dibangun tanpa kekuasaan tunggal

  • Musyawarah adalah kekuatan utama masyarakat

  • Keterbukaan terhadap dunia luar bukan ancaman, tapi peluang

  • Adat dan identitas lokal adalah pilar penting dalam menghadapi perubahan zaman

Referensi Bacaan

  • Dobbin, C. (1983). Islamic Revivalism in a Changing Peasant Economy: Central Sumatra, 1784–1847. Curzon Press.

  • Kato, T. (2005). Adat Minangkabau dan Merantau dalam Perspektif Sejarah. Gramedia.

  • Naim, M. (1979). Merantau: Pola Migrasi Suku Minangkabau. UI Press.

  • Nur Salmiyet Manjo Dirajo. Inderapura dan Banda Sapuluah: Jejak Kekuasaan dan Adat di Pesisir Barat Sumatera (naskah lokal, tidak diterbitkan).

  • Nationaal Archief (Belanda). Surat-menyurat VOC di Sumatra Barat (1600–1750).

  • Van der Tuuk, H.N. Maleische Spraakkunst. Leiden: E.J. Brill.

  • Verslag van Reize naar de Westkust van Sumatra, W. Baron van Hoevell (1840-an).

  • Tambo Pagaruyung dan naskah adat lokal Minangkabau (kompilasi LKAAM).

  • Azra, A. (2004). *Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII–XV

#BandaSapuluah #KonfederasiAdat #SejarahMinangkabau #MaritimSumatera #AdatMinangkabau #NagariPesisir #KearifanLokal #SejarahLokal #BalaiAdat #MusyawarahMinang #WarisanBudayaSumbar #MinangkabauMaritim