Suami Meninggal, Istri Merasa Menjadi Pewaris Tunggal
Ancamannya
Neraka, Ibu yang Mengusai Harta Warisan Anaknya
Menurut K.H.Ahmad Sarwat, seluruh umat Islam tidak perlu khawatir, pasti masuk surga. Hanya
jalan menuju surga ada dua. Ada yang langsung masuk surga dan ada yang mampir
dulu ke neraka. Mampirnya ada yang sebentar dan ada pula yang lama.Tapi urusan
mampir dan tidak mampir ke neraka, tidak ada jaminan. Kalau jaminan masuk
surga, ya.
Ada juga
orang Islam yang dalam hatinya beriman kepada Allah, tapi orang ini meskipun
mati dalam keadaan Islam, nasibnya mirip dengan orang kafir.Masuk neraka tidak
keluar-keluar lagi. Allah berfirman dalam Surat Annisa’ ayat 14, “ Dan barang
siapa yang mendurhakai Allah, Rasul-Nya, dan melanggar batas-batas hukumnya,
niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka, dia kekal di dalamnya dan dia
akan mendapat adzab yang menghinakan.”
Ini bukan cerita
orang kafir melainkan orang islam. Dia rajin shalat, baca Al-Qur’an, puasa
Senin Kamis, bolak balik ke Tanah Suci, tidak pernah putus bayar zakat, infak,
dan sedekah. Tapi karena dia menentang satu dari ketentuan Allah, maka dia
masuk neraka, tidak keluar-keluar lagi.
Ayat
sebelumnya, 11, 12, dan 13 Allah membuat ketentuan agar jangan diotak atik,
ditinggalkan, apalagi diinjak-injak. Isinya, Allah berwasiat dalam masalah
anak-anakmu, pembagian harta warisnya, anak laki-laki mendapat seperti dua perempuan.
“Kalau macam-macam dengan ketentuan ini, masuk neraka gak keluar lagi,” ujarnya
memperingatkan.
Bagaimana
agar terhindari dari ancaman ini, mau tidak mau harus menghindari membagi waris
dengan ketentuan di luar yang sudah ditetapkan oleh Allah. Tapi dalam
kenyataannya harus diakui, banyak dalam keluarga muslim yang sholih dan
sholihah yang tidak sesuai dengan ketentuan islam. “Menjadi kewajiban kita
pelan-pelan memberikan pencerahan dan penerangan agar tidak terkenaancaman
Allah,” tambahnya.
Suami Meninggal, Istri Merasa Menjadi
Pewaris Tunggal
Sudah
menjadi kebiasaan di tengah masyarakat Islam, kalau ada suami meninggal dunia,
istrinya tiba-tiba merasa menjadi pewaris tunggal dari harta suaminya.
Anak-anakanya tidak ada yang berani minta bagian. Anak-anak juga berpikir, “Kan
ibu kita masih ada. Kenapa kita meributkan warisan? Seolah-seolah warisan itu
dibagi menunggu kedua orangtua kita meninggal dulu. Ini sudah berlaku di
mana-mana. Bahkan kta juga mengalaminya. Bapak kita meninggal, kita tidak
berani ngomongin warisan.Setelah ibu meninggal, baru kita berani ngomongin
warisan,” kata Sarwat.
Seolah-olah
seorang istri berhak memiliki harta almarhum suami seluruhnya.Kalau istrinya
(ibunya) meninggal, baru dibagikan warisan tersebut. Padahal hal itu
bertentangan dengan firman Allah, “Buat mereka (istri) mendapat hak waris hanya
sebesar seperempat kalau almarhum suaminya tidakpunya anak. Tapi kalau suaminya
punya anak, bagi istrinya hanya mendapat seperdelapan.”
Kalau
suaminya meninggalkan harta Rp 8 miliar, maka bagian istrinya hanya Rp 1
miliar. Sisanya yang Rp 7 miliar haknya anak. Tapi bagaimana prakteknya di
tengah masyarakat sekarang? Suami meninggal, istri langsung mengangkangi harta
suami selurunya, tidak langsung dibagi. Pemahaman kebanyakan umat Islam, tunggu
dulu istri meninggal, baru sang anak bagi waris. Ini sudah terlanjur dianggap kebenaran
mutlak.
Kebiasaan
seperti Ini berlakunya bukan hanya bagi masyarakat awam yang tidak mengerti
agama, justru di tengah masyarakat Islam yang bapak dan ibunya ahli ibadah dan
sudah ke Tanah Suci tiap tahun dan kalau nikah, tempatnya di masjid. Rajin
ibadah, tapi dalam pembagian waris, nunggu ibu meninggal, baru bagi waris.
Kalau
ditunggu ibunya tidak meninggal juga, malah anaknya meninggal duluan semua,
maka kacau pembagian warisnya. Oleh karena itu yang perlu diluruskan, harus
disadarkan ketika suami meninggal dan punya anak, maka anaknya berhak langsung
mendapat waris. Istri dapat juga tapi hanya seperdelapan. Tujuh perdelapannya
buat anak-anak.
Kalau
anaknya masih kecil-kecil, apakah perlu langsung dibagi juga? “Ya, wajib
langsung dibagi. Cuma kalau anak kecil belum bisa menyimpan uang, ya ibunya
wajib menjaga dan melindungi harta milik anaknya. Ingat, menjaga bukan
menghabiskan. Yang banyak terjadi, anaknya masih kecil-kecil, harta suaminya
dikeruk semuanya, terus kawin lagi dengan brondong muda. Ini ngawur, “ tuturnya
mengingatkan.
Sekali lagi
ia mengingatkan, harta yang menjadi hak seorang istri hanya seperdelapan. Para
suami harus menginformasikan pada istrinya, nanti kalau dirinya mati, istri
bagiannya hanya seperdelapan. Tujuh perdelapannya milik anak. Kalau suaminya
meninggalkan Rp 8 miliar, maka istri hanya mendapat Rp 1 miliar. Sisanya Rp 7
miliar buat anaknya. Kalau anaknya 2, maka Rp 7 miliar dibagi dua. Kalau punya
anak satu laki-laki dan satunya lagi perempuan, maka sama dengan punya anak 3.
Yang laki-laki mendapat dua bagian, yang perempuan hanya 1 bagian.
Kalau suami
meninggal dunia punya warisan Rp 8 miliar. istri punya anak dua, yang satu
laki-laki dan satunya lagi perempuan. Cara menghitungnya begini, istri mendapat
bagian Rp 1 miliar. Sisanya Rp 7 miliar untuk dua anaknya. Meskipun anaknya
hanya dua, tapi penghitungannya menjadi tiga. Yang dua bagian untuk anak
laki-laki, yang satu bagian untuk anak perempuan.
Pembagiannya
begitu suami meninggal. Tidak menunggu anak-anaknya besar dulu baru dibagi.
“Kalau anak-anaknya sampai gede. Kalau pada mati, mereka nggak dapat apa-apa.
Karena itu, istri harus tahu, begitu suami meninmggal, harus dibagikan harta
warisannya itu kepada anak-anaknya,” tambahnya lagi.
Kalau
anak-anaknya butuh biaya hidup, seperti sekolah, pakaian, makan, dan
sebagainya, ibunya bisa mengambilkan dari harta anaknya itu. Harus ada bonnya,
agar jika anaknyatumbuh besar, dia akan bertanya, “Dulu bapak punya harta
banyak banget. Tenang, hartamu jelas catatan pengeluarannya. Dulu kamu menerima
harta sekian. Ibu lalu menggunakan harta itu untuk membesarkanmu. Ini bon
catatannya masih tersimpan rapi. Sisanya, tinggal Rp 200 ribu. Kan jelas, nih.”
Seorang ibu
menurutnya, tidak wajib membiayai kehidupan si anak. Yang wajib memberi nafkah
kepada anaknya, bapaknya. Kalau bapaknya meninggal, punya warisan. Bagian
warisan anaknya diatur oleh ibunya. Anak yang ditinggal bapaknya menjadi anak
yatim. Harta yang menjadi anaknya, jangan diapa-apakan.“Sesungguhnya orang-orang
yang makan harta anak yatim secara dholim, sebenarnya mereka itu menelan api ke
dalam perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka),”
(Surat Annisa’ ayat 10).
Ternyata
yang suka makan harta anak yatim bukan orang jauh melainkan ibunya sendiri
dengan cara dholim tentunya, ini tidak boleh. Tapi kalau dengan cara yang
ma’ruf (benar), bisa dipertanggungjawabkan, tentu saja boleh.
“Itulah
budaya kita, saat bapak kita meninggal, kita tidak berani mengutak atik harta
warisan terhadapp ibu. Karena ibunya masih hidup dianggap “pamali” (tidak
etis). Malah ibu kita mengomel, Kuburan bapakmu masih belum kering sudah
menanyakan warisan, karena format berpikir masyarakat kita, memang arahnya
sudah salah kaprah dari awal. Kita harus ngasih tahu pelan-pelan.”
Sumber : KompasianaKnowledge
Langkah pertama yang harus ditempuh adalah secara kekeluargaan. Untung-untung harta peninggalan tersebut bisa dibagi secara kekeluargaan tanpa perlu dilakukan gugatan ke Pengadilan Agama. Dibuat kesepakatan dengan para ahli waris dan selanjutnya meminta penetapan di Pengadilan. Akan tetapi apabila tidak ada kesepakatan diantara para ahli waris, ya langkah yang bisa dilakukan adalah melakukan gugatan pembagian waris ke Pengadilan Agama, sebagaimana ketentuan dalam Pasal 188 KHI:
“Para ahli waris baik secara bersama-sama atau perseorangan dapat mengajukan permintaan kepada ahli waris yang lain untuk melakukan pembagian harta warisan. Bila ada diantara ahli waris yang tidak menyetujui permintaan itu, maka yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan melalui Pengadilan Agama untuk dilakukan pembagian harta warisan.”
Posting Komentar